Edisi 1819
Kehidupan akan terus berjalan bagaimanapun kondisi yang kita alami. Saat bahagia maupun sedih dan saat sibuk ataupun senggang, waktu terus berlalu. Di dalam kesendirian maupun di tengah keramaian, setiap dari kita akan diuji. Allah Ta’ala berfirman, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kalian akan dikembalikan hanya kepada Kami” (Q.S. Al Anbiya: 35).
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” adalah Allah akan menguji manusia dengan musibah dan juga nikmat untuk melihat siapakah di antara hamba-Nya yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa, sebagaimana perkataan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah akan menguji dengan ujian kebaikan dan keburukan, kesempitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, serta petunjuk dan kesesatan (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342).
Membuka kembali kisah para Nabi
Tidak dipungkiri setiap dari kita pernah menghadapi ujian. Saat – saat ujian memuncak, terkadang diri merasa paling berat ujiannya. Lupa bahwa kita sering mendengar berbagai beratnya cobaan yang dialami oleh para Nabi dan Rasul. Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat, maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (H.R. Tirmidzi no. 2398, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani)
Membuka kembali cerita tentang kesabaran para Nabi dan Rasul bisa menumbuhkan semangat dan mengobati kesedihan saat ujian datang karena ternyata ujian yang kita hadapi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cobaan yang dihadapi para Nabi dan Rasul.
Kesabaran Nabi Nuh terhadap anak dan kaumnya
Sembilan ratus lima puluh tahun bukanlah waktu yang singkat dalam menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Selama itu Nabi Nuh ‘alaihis salam menyeru kaumnya untuk mentauhidkan Allah Ta’ala, termasuk juga menyeru keluarganya. Setelah sekian lama siang malam usaha itu tak terhenti, Allah Ta’ala wahyukan kepada beliau supaya membuat sebuah bahtera untuk menyelamatkan orang – orang yang berserah diri kepada Allah Ta’ala. Beliau pun melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut di tengah hinaan dan cacian kaumnya.
Air pun muncul di permukaan bumi, berbagai pasang binatang dan orang yang beriman masuk ke dalam bahtera. Air bergelombang besar. Bahtera berlayar membawa hamba-hamba Allah Ta’ala yang mau beriman. “Hingga apabila perintah Kami datang dan permukaan bumi telah memancarkan air, Kami berfirman, ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang, dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya, dan muatkanlah pula orang-orang yang beriman’. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.” (Q.S. Hud: 40)
Di tengah gelombang air yang membawa bahtera, Nabi Nuh ‘alaihis salam melihat anaknya yang tak mau mengikuti kata ayahnya sedang berada di tempat yang jauh dan terpencil. Allah Ta’ala kisahkan dalam firman-Nya:
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku! Naiklah bersama kami, dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir!’.” (Q.S. Hud: 42)
Apakah si anak sadar dan menyesal saat melihat kasih sayang dan kesabaran ayahnya? Tidak. Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” (Q.S. Hud: 43)
Dan keras kepala si Anak tetap tidak mampu menyelamatkannya.
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang- orang yang ditenggelamkan.” (Q.S. Hud: 43)
Betapa hancur dan sedih hati seorang ayah yang melihat langsung anaknya menentang ajakan sebagai jalan keselamatannya akhirnya tenggelam dalam gelombang air bah.
Kesabaran Nabi Ibrahim terhadap ayah dan kaumnya
Beliau mendakwahkan tauhid tanpa dukungan dari ayahnya, bahkan ditentang. Namun demikian, beliau ‘alaihis salam tetap menyampaikan kepada ayahnya dengan penuh kesabaran, lemah lembut dan sopan santun. Beliau berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”(Q.S. Maryam: 42). Allah Ta’ala juga menceritakan perjuangan beliau mendakwahkan tauhid kepada kaumnya “Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik bagi kalian, jika kalian Mengetahui.” (Q.S. Al-Ankabut: 16).
Apakah niat yang tulus, ucapan yang lembut dan ajakan kebaikan itu diterima ayah dan kaumnya? Tidak. Kaumnya berkata, “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu”. (Q.S. Ash-Shaffat: 97).
Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam tumpukan kayu bakar yang tinggi. Tanpa ada kesalahan yang dilakukan beliau. Beliau tidak merampas harta kaumnya, tidak mencemarkan nama baik kaumnya, juga tidak mengganggu kehidupannya bermasyarakat. Hanya karena beliau menyampaikan kebenaran dan ingin menyelamatkan dari kesesatan, kobaran apilah yang menjadi balasan dari kaumnya.
Kita bayangkan jika saat di tengah kayu bakar itu kita, masihkah kita mampu bersabar dan berprasangka baik serta yakin Allah Ta’ala akan menolong kita?
Tapi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah kita yang masih lemah dan perlu lebih banyak belajar bersabar. Beliau tetap bersabar dan yakin Allah Ta’ala adalah sebaik – baik penolong. Nabi Ibrahim berkata, “Ya, Allah, Engkau Maha Esa di atas langit, dan aku sendiri di bumi ini. Tiada seorang pun yang menyembah-Mu di atas muka bumi ini selainku. Cukuplah bagiku Engkau sebaik-baik Penolong.” (Fathul Bari, 6/483).
Kesabaran Nabi Yusuf terhadap saudara dan berbagai ujian dalam hidupnya
Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam termasuk kisah Nabi paling panjang yang Allah Ta’ala kisahkan dalam Al Quran. Ujian demi ujian beliau hadapi. Sejak kecil, beliau sudah diuji dengan saudara-saudaranya yang iri dengannya hingga akhirnya membuangnya ke dalam sumur. Di saat dewasa, beliau diuji dengan seorang wanita cantik jelita, terhormat dan kaya untuk berzina. Tapi sekalipun pintu telah dikunci, tiada orang curiga, rayuan wanita terus menggoda, dikecam masuk penjara jika menolak, dan syahwat kedua pihak telah memuncak, beliau menahan dan bersabar untuk Allah Ta’ala. Tapi setelah itu semua, apa yang didapatkannya? Beliau yang tertuduh dan dijebloskan ke penjara. Bukan hanya sehari dua hari atau sebulan dua bulan di penjara. Beliau berada di penjara selama beberapa tahun, hingga akhirnya beliau dikeluarkan. Di suatu waktu di musim kemarau, saat orang-orang sudah mulai merasakan lapar dan kekurangan bahan makanan, saudara-saudara beliau yang dulu membuangnya ke dalam sumur datang ke Mesir. Singkat cerita, akhirnya beliau menjelaskan bahwa beliau adalah saudaranya yang dulu dibuang ke sumur. Apakah beliau membentak, merendahkan dan mencaci maki saudaranya tersebut kala itu? Tidak. Beliau tidak menyimpan dendam sama sekali dan menegur mereka dengan lemah lembut, “Tahukah kalian (kejelekan) apa yang telah kalian perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya karena kalian tidak menyadari (akibat) perbuatanmu itu?” (Q.S. Yusuf: 89)
Betapa sabar dan pemaafnya beliau ‘alaihissalam. Meski dengan sebab perbuatan saudaranya itu penderitaan demi penderitaan dilaluinya, beliau tidak menyimpan dendam dalam hatinya.
Kisah Nabi Nuh, Ibrahim dan Yusuf ‘alaihimussalaam tersebut adalah seuntaian mutiara di antara banyak sekali permata dalam kisah perjalanan para Nabi, Rasul dan orang-orang shalih yang semakin kesini mungkin semakin tidak lagi dibuka. Mungkin lebih sibuk menghabiskan waktu dengan membuka chat Whatsapp, instastory, status, dan lain sebagainya. Kita memohon kepada Allah Ta’ala semoga senantiasa diberikan petunjuk dan berada di atas jalan yang lurus.
Penulis: Pridiyanto S.Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Murajaah Ustaz Abu Salman, B.I.S.